MEMORI JENDERAL YOGA : Kilas Balik Berbagai Peristiwa Nasional.

Memori Jenderal Yoga 4Memori Jenderal Yoga 5Memori Jenderal YogaMemori Jenderal Yoga 1 (catatan yoga)Memori Jenderal Yoga 2 (foto)Memori Jenderal Yoga3 (daft. isi)

WAWANCARA & PELIPUTAN LEBIH 8 TAHUN.

Kami tidak tahu persis, apakah ada wawancara dan peliputan tokoh dengan metode partisipasi yang lebih lama dari yang pernah kami lakukan, yakni lebih dari 8 (delapan) tahun? Delapan tahun lebih itulah yang kami perlukan untuk menyusun buku MEMORI JENDERAL YOGA. Semua kami lakukan sendiri, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, dengan tenaga, daya upaya dan biaya sendiri masing-masing pula, termasuk tatkala harus menyertai perjalanan Pak Yoga, demikian kami biasa memanggil, baik di dalam maupun ke luar negeri. Tidak juga melibatkan protokol BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), kecuali dalam pembuatan paspor yang memperoleh kode-kode tertentu sehingga sangat memudahkan urusan imigrasi.
Maka apabila Pak Yoga ada acara atau mau bepergian, beliau hanya mengatakan “besok hari H tanggal T jam J dengan pesawat P, saya akan pergi ke Tokyo (misalkan) selama sekian hari, menginap di Hotel H.” Pemberitahuan itu berarti sebuah ajakan dan selanjutnya kami harus bisa menyesuaikan diri. Kadang satu pesawat dan satu hotel, kadang kala juga beda pesawat dan beda hotel namun berdekatan.

Pada periode tahun 1980an, pengaruh Pak Yoga dan BAKIN luar biasa besar. Kalau mau, kami bisa dengan mudah dan cepat mencari sponsor untuk membiaya perjalanan kami. Namun demikian kami sangat menjaga kerahasiaan acara dan perjalanan-perjalanan tersebut. Bersyukur kami selalu mampu mengatasi sendiri, termasuk merahasikan acara yang sebenarnya dari kepergian kami, termasuk kepada isteri.

Kami juga sangat bersyukur, pak Yoga cukup terbuka baik dalam acara, kegiatan maupun pembicaraan-pembicaraan dengan tamu atau pun staf. Tak jarang kami diijinkan ikutserta. Seandainya semua peristiwa itu terjadi di era telpon genggam seperti sekarang, barangkali akan sangat banyak foto-foto selfi kami. Semua itu berkat kepercayaan yang antara lain kami peroleh setelah kami berhasil menulis dan menerbitkan operasi pembebasan pembajakan pesawat Garuda “Woyla”, yang kemudian kami beri nama dan menjadi judul buku “OPERASI WOYLA”, terbit Oktober 1981.

Mengapa menulis dan menerbitkan buku seperti itu saja bisa menumbuhkan kepercayaan yang besar dari Kepala Badan Intelijen Negara dan juga Jenderal Berbintang Empat? Bisa saja orang memiliki banyak tafsir atas buku tersebut, namun satu hal sebagaimana testimoni tulisan tangan Pak Yogya yang juga kami sajikan di blog bukusahabatwiwoho, antara lain sebagai berikut: “terima kasih sebesar2nya kpd sdr Wiwoho. Yg secara berani dan obyektif mengungkapkan suatu “mysterie” yg oleh berapa fihak selalu dicoba utk ditutupi…..”

Senada dengan testimoni Pak Yoga, Pak Ali Moertopo juga memberikan testimoni dihadapan Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho pada tanggal 20 September 1983, yang kemudian kami muat di Harian Angkatan Bersenjata (lupa tanggalnya) dan di buku Memori Jenderal Yoga ini, antara lain: “ saya rasa Pak Harto sukar meninggalkan Pak Yoga dalam penugasan-penugasan negara. Dan juga tidak mungkin ada fitnah lagi. Saya tahu orang-orang yang memfitnah. Saya tahu berapa kali Pak Yoga difitnah. Belakangan sih ada, mulai lagi, umpamanya pada sekitar tahun 79 – 80, yaitu sesudah pembentukan kabinet. Sampai Pak Yoga ke Hankam itu pun sudah difitnah. Tapi mungkin karena Pak Yoga sudah berpengalaman, Pak Harto sudah berpengalaman, Pak Harto sudah lebih mengenal Pak Yoga, dan Pak Yoga sudah tidak begitu emosional, sudah mampu menyesuaikan, maka tidak terjadi hal-hal yang jelek. Yang lebih jelek, karena sebetulnya saat itu sudah jelek sekali. Tapi karena Pak Harto sudah ndak bisa dibohongi, ya sudah. Waktu mengenai Woyla mau dicoba lagi. Saya pikir, suruh orang-orang itu baca buku Operasi Woyla saja. Betul nggak? Waktu Woyla, pejabat mana yang berani secara voluntary, secara sukarela menawarkan diri menjalankan tugas. Coba menawarkan diri. Padahal risikonya besar sekali. Lebih besar dibanding lucknya.” (halaman 40-41).

Tak berapa lama setelah itu tepatnya hari Selasa tanggal 15 Mei 1984 pak Ai Moertopo wafat karena serangan jantung di kantornya di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Memahami posisi Pak Yoga yang seperti itu, sebagai anak buah, sahabat sekaligus salah satu pilar termuda dari Tritunggal Jawa Tengah sampai Orde Baru (Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo), Pak Ali yang pada tahun 1982 menjabat sebagai Menteri Penerangan, menugaskan kepada Dewan Film Nasional untuk menuangkan Operasi Woyla ke dalam film layar lebar. Belum sampai film tersebut selesai dibuat, pada Maret 1983 Pak Ali lengser dari jabatan Menteri Penerangan. Seraya itu, berhenti pula pembuatan film Operasi Woyla.

Loyalitas, setiakawan dan rasa hormat Pak Ali kepada Pak Harto dan Pak Yoga sangat besar. B.Wiwoho pernah mengalami gangguan hubungan yang cukup parah dengan Pak Ali antara tahun 1980 – 1981, sampai hampir semua aktivitas ditutup. Sungguh dalam situasi seperti itu, sahabat yang tetap menjalin komunikasi dengan baik dan terus membantu B.Wiwoho adalah Pak Yoga, Tjokropranolo, Amran Zamzami, Probosutejo, Syarnubi Said, Kol Sudarto, Brigjen FX.Surojo, Harmoko dan Zulharman. Tatkala B.Wiwoho sudah tidak tahan lagi, kemudian mengadulah kepada Pak Yoga, yang langsung menelpon dan menegur Pak Ali. Secara spontan pula Pak Ali meminta maaf dan di lain hari menugasi Pak Harmoko menemui B.Wiwoho meminta untuk melupakan semua hubungan buruk masa lalu dan menawarkan memberikan Surat IjinTerbit suratkabar atau majalah berikut segala perlengkapan dan modalnya. Tawaran tersebut secara halus dan dengan sepenuh terima kasih kami tolak.

Loyalitas Pak Ali kepada Pak Yoga juga diungkapkan kepada kami bertiga (Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho), yang diminta untuk melakukan suatu operasi penggalangan, demi mengingatkan janji setiakawan Tri Tunggal:Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo, terutama Soeharto – Yoga, yang menurut Pak Ali, terpisah tapi berjalan bersama atau berhimpitan (halaman 27 – 28). Namun permintaan ini tidak kami laksanakan karena Pak Yoga sendiri tidak setuju. “Biarlah semua mengalir bagaikan air kehidupan. Saya ini kan wayang, biarlah Sang Dalang Yang Maha Agung yang menugasi apa peran saya. Tak berani saya memohon hadiah dan peran tertentu,” katanya.

PERANAN BAKIN DALAM PENGANGKATAN PEJABAT TINGGI.

Tatkala menjabat kembali sebagai Kepala BAKIN segera sesudah peristiwa Malari Januari 1974, hubungan Pak Yoga dengan Presiden Soeharto berlangsung sangat intens, hampir rutin bertemu setiap Jumat malam di kediaman pak Harto di Jalan Cendana no.8. Dalam pertemuan tersebut dibahas evaluasi keadaan selama seminggu terakhir dan langkah serta kebijakan apa yang harus diambil oleh Pemerintah khususnya Presiden Soeharto pada minggu depan dan selanjutnya.
Dalam pertemuan biasanya Pak Yoga membawa berkas setebal sekitar 4 (empat) halaman kertas kuarto dengan sejumlah lampiran bila dianggap perlu. Pak Yoga akan bicara terbuka apa adanya tentang sesuatu masalah, namun demikian sebagaimana orang Jawa, ia sangat memegang “unggah-ungguh” dan menghormati senior apalagi pimpinan. Karena itu masalah-masalah yang sangat peka, terutama bila menyinggung keluarga, dikemukakan dengan menggambarkan perkiraan ancaman, kemudian solusinya dengan tanpa mempermalukan keluarga. Sudah barang tentu, itu semua memerlukan kerja keras staf yang harus mempersiapkan berkas laporan dalam susunan kalimat dan bukti-bukti pendukung yang kuat, yang bisa diterima Pak Harto tanpa membuat marah dan menyinggung perasaan.

Kepercayaan Presiden Soeharto kepada BAKIN termasuk Operasi Khusus (Opsus)-nya semenjak awal Orde Baru sangat besar. Tidak ada pengangkatan pejabat tinggi setingkat Menteri dan Gubernur, yang tidak melalui penyaringan atau paling sedikit pengecekan oleh BAKIN terlebih dulu. Tulisan mengenai ini, kami muat dalam link: http://bwiwoho.blogspot.co.id/2012/05/mengenang-14-tahun-reformasi-cara.html   dengan judul “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya,” yang kemudian juga diterbitkan dalam buku “ 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto.”
Tulisan tersebut mendapat perhatian besar dari media masa baik cetak, elektronik maupun online, sehingga banyak dikutip seperti antara lain yang kami sarikan untuk dimuat di blog http://bwiwoho.blogspot.com sebagai berikut:
“Senin, 01 April 2013
PRESIDEN SOEHARTO MEREKRUT PEMBANTUNYA TANPA HIRUK PIKUK.
BIOGRAFI SOEHARTO
Pemimpin Harus Tegas dan Berani Memutuskan
Menjadi pemimpin apa pun, kita harus selalu tegas dan berani mengambil keputusan. Kalau ingin maju, harus pandai mendengar, melihat, dan mengambil hikmahnya”.Demikian alinea pertama dari laporan Harian Kompas mengenai buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”, Sabtu 30 Maret 2013 halaman 2, yang juga bisa diakses melalui Kompas.com.
Tulisan itu merangkum ciri-ciri kepemimpinan Pak Harto, yang ada di buku tersebut. Mantan wartawan Suara Karya, Bambang Wiwoho dalam kutipan tersebut menulis, bagaimana Soeharto merekrut pembantunya tanpa hiruk pikuk berlarut-larut. Soeharto menugaskan pimpinan Operasi Khusus/Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelidiki hingga detail siapa teman tidur calon pembantunya itu, siapa saudara dan teman bergaulnya, hingga bagaimana riwayat perjuangan hidupnya.”

Beberapa kali penulis menjadi saksi bagaimana Pak Yoga beserta jajarannya memproses dan meneliti calon pejabat tinggi sesuai penugasan Presiden. Salah satu di antaranya bahkan menjadi perantara pertemuan antara Pak Yoga dengan Brigjen TNI (Purn) Dan Anwar, yang ikut memimpin pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dan Anwar dimintai pendapat dan saran-sarannya atas pecalonan Sudharmono menjadi Wakil Presiden RI masa bhakti 1988 – 1993.

Sebagai petinggi intelijen yang berpendidikan Akademi Milter Jepang dan pendidikan intelijen Inggris, serta juga berpengalaman sebagai komandan pertempuran dalam menghadapi pemberontakan bersenjata tahun 1959 – 1960. Yoga nyaris sempurna sebagai tokoh intelijen. Badannya tegap dan kokoh, wajahnya ganteng, penembak mahir yang berani latihan menembak kaleng permen yang diletakkan di atas kepala anak buahnya, menguasai ilmu beladiri termasuk silat Merpati Putih, dan sebagaimana lazimnya pemuda-pemuda Jawa, mendalami pula ilmu-ilmu kesaktian. Pada dasa warsa tahun 1980an itu, Pak Yoga juga mempelajari tasawuf dalam bimbingan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.

Sebagai perwira intelijen, ia memiliki insting dan perasaan yang tajam. Pagi menjelang Peristiwa Berdarah Kerusuhan Kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta 18 Maret 1982. Ia sudah menelpon Panglima Kodam Jaya Norman Sasono, untuk mengerahkan pasukan membuat pagar betis dan menyekat peserta kampanye agar tidak timbul ekses negatif, terutama bentrokan dengan masa Partai Persatuan Pembangunan yang di Jakarta dikenal sangat militan. Permintaan itu ditolak oleh Pangdam.

Tatkala ternyata betul-betul terjadi kerusuhan yang merenggut banyak nyawa, Yoga langsung bertindak. Ia menggelar peta Jakarta seperti Ratu Elizabeth I dari Inggris ketika mengatur strategi perang melawan Spanyol tahun 1588. Dengan keyakinan penuh dan wibawa yang tinggi, ia seperti mengambil alih komando, dengan cepat ia meminta dilakukan pergerakkan pasukan untuk mengepung dan mengamankan Istana serta kediaman Presiden Soeharto di Cendana. Oleh sebab itu ketika memang ada sejumlah massa liar yang menuju Cendana, maka bisa langsung dihalau mundur.

YOGA SUDAH SARANKAN PAK HARTO LENGSER TAHUN 1985.

Topik lain yang juga banyak dikutip oleh media massa dari tulisan kami di buku tentang Pak Harto tadi adalah saran Pak Yoga kepada Presiden Soeharto yang disampaikan pada sekitar Mei 1985 antara lain: “Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah. (3). Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Di lain pihak kesenjangan generasi juga akan mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Pak Yoga akan mengamankannya.

Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak oleh dua orang pejabat penting lainnya melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya cenderung mendukung Pak Yoga.”

Sejumlah media massa mengutip bagian tulisan tersebut antara lain seperti link berita berikut: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/400905-soeharto-sudah-disarankan-lengser-di-tahun-1988

Sesuai peraturan yang berlaku, pada Mei 1981 status kemiliteran Pak Yoga adalah Purnawirawan TNI berbintang empat, karena sudah berusia 56 tahun. Kepangkatannya dengan demikian adalah pegawai bulanan golongan IV/e sampai Juni 1989, dan mengajukan berhenti atau pensiun atas permintaan sendiri.

Jika dikaji status kepangkatan Pak Yoga dan kekecewaannya terhadap Pak Harto yang membuat tidak lagi rutin menghadap mingguan sebagaimana kebiasaan selama sebelas tahun terakhir, kecuali dipanggil, nampaknya benar apa yang dikemukan Pak Ali Moertopo tentang perjanjian setiakawan “Tri Tunggal Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo”. Coba kalau tidak ada sejarah hubungan setiakawan yang baik, bagaimana mungkin dibiarkan oleh Pak Harto selama empat tahun tanpa mau menghadap, sampai akhirnya Pak Yoga sendiri yang meminta pensiun.

DILARANG CETAK ULANG.

Buku Memori Jenderal Yoga diluncurkan dalam acara bedah buku pada Juli 1990, yang dihadiri oleh banyak para petinggi negeri baik sipil maupun militer, termasuk mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Benny Murdani serta Panglima ABRI Try Sutrisno, serta Kepala BAKIN Letnan Jenderal Soedibyo. Cetakan pertama, habis dibagi untuk sahabat-sahabat Pak Yoga, penulis serta berbagai perpustakaan. Cetakan kedua yang dicetak bersamaan dengan cetakan pertama tapi untuk keperluan pasar bebas habis hanya dalam tempo beberapa bulan. Ketika cetakan ketiga siap diedarkan pada bulan April 1991, tiba-tiba pada suatu pagi kami menerima telpon berurutan pertama dari Kepala BAKIN Letjen Soedibyo, tak lama kemudian dari Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Radius Prawiro. Keduanya meminta agar kami menemui mereka secara bergantian. Yang pertama di kantor BAKIN di Pejaten, sedang yang kedua di kediaman dinas di Kompleks Menteri Widya Chandra.

Keduanya menjelaskan kepada kami bahwa “semalam” mereka berdua bersama Menteri Sekretaris Negara Murdiono, telah dipanggil Presiden Soeharto untuk membahas buku Memori Jenderal Yoga. Pak Radius ikut diminta hadir karena dianggap Pak Harto memiliki hubungan dekat dengan penulis. Ada isi buku yang oleh Pak Harto dikuatirkan bisa menjadi contoh tidak baik bahkan dapat memicu keberanian bawahan melawan atasan, yakni bab 4 tentang: “Jawa Tengah Menolak Pusat.” Oleh sebab itu Pak Harto meminta agar peredarannya dihentikan. Pertemuan yang berlangsung masing-masing lebih dari 3 (tiga) jam itu membahas secara hati-hati dan mencari jalan keluar yang baik yang tidak memancing kemarahan Pak Yoga.

Kepada keduanya kami paparkan betapa tidak serasinya hubungan Pak Yoga dengan Pak Harto dan beberapa pejabat tinggi lainnya semenjak pertemuan rutin Jumat malam di bulan Mei 1985. Hanya kearifan dan suka duka bersama yang panjanglah yang membuat hubungan buruk tadi tidak menyeruak keluar. Tatkala buku sedang dicetak, Pak Yoga juga sudah mengkuatirkan kemungkinan Pak Harto tidak berkenan. Dan jika itu terjadi, Pak Yoga akan melakukan perlawanan keras.

Akhirnya disepakati agar Pak Yoga tidak perlu tahu masalah ini, sedangkan cetakan ketiga adalah cetakan terakhir, sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Selain itu kami juga tidak akan mempromosikan atau pun mempublikasikan buku ini. Kelak jika suatu saat Pak Yoga menanyakan kenapa tidak dicetak ulang lagi, sebaiknya dijawab pasar sudah jenuh.

Demikianlah sedikit catatan tambahan untuk Memori Jenderal Yoga. Semoga ada manfaat dan berkah-Nya. Aamiin.

KOMENTAR – KOMENTAR
Via grup What’S Ap PEDULI NEGARA.

M.Hatta Taliwang (MHT, mantan anggota DPR RI).
Mas Wiwoho, terima kasih atas posting biografi Jenderal Yoga Sugomo. Saya tidak sempat memiliki buku tersebut. Kalo bisa saya foto copy bukunya, bisa kah ?
Meskipun saya belum baca buku dan cuma dari sekilas catatan resensi mas Wi namun saya punya kesimpulan bahwa dalam kasus PERISTIWA G30S pasti pak Yoga banyak menyembunyikan data dan fakta yang sebenarnya. Mungkin ceritanya standar saja seperti versi resmi rezim ORBA. Kesimpulan ini saya ambil dari :
1. Soeharto tidak keberatan dengan buku tersebut dan hanya keberatan soal “Perlawanan Daerah Terhadap Pusat” yang ditulis di buku tadi.
2. Berbeda kalau buku ditulis setelah Soeharto wafat. Mungkin pak Yoga akan berani mengungkap data dan fakta baru yang lebihh jujur. Buku tersebut diterbitkan tahun 1990 saat Soeharto masih jaya.
Berbeda misalnya dengan memoar Jenderal Nasution yang versinya dalam soal aktor penanggung jawab G30S, yang berani menyebut nama tokoh penting yang diduga terlibat.
Mohon pencerahan pak Wi.

B.Wiwoho
Bung MHT, terima kasih atas atensi anda tentang Memori Jenderal Yoga.
Mengenai buku, mohon maaf yang ada tinggal koleksi perpustakaan pribadi saya. Beberapa bulan yang lalu memang masih ada dua copy yang saya berikan ke pak Hascaryo dan perpustakaan BIN (Badan Intelijen Negara). Sejumlah sahabat juga ingin mengcopy. Moga pak Has berkenan membantu. Terima kasih pak Has.
Perihal G.30.S PKI ada beberapa clue aantara lain:
1. Delapan bulan sebelum kejadian, pak Yoga sebagai Atase Mikliter di Yugoslavia dipanggil pulang oleh Pangkostrad dalam hal ini Pak Harto (HMS/Haji Muhammad Soeharto).
2. Hasil pemeriksaan Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno (BK) yang mengindikasikan atau patut diduga BK mengetahui gerakan Untung dengan pasukan Cakrabirawanya.
3. Malam menjelang kejadian, Kolonel Latief menemui pak Harto di RS Gatot Subroto.
Ketiganya memperkuat dugaan baik BK maupun Pak Harto tahu ada konfrontasi keras antara PKI yang didukung Latief dan Untung vs sejumlah Jenderal, tapi tidak tahu persis manuver taktisnya.

Latief dan Untung karena merasa dekat dengan Pak Harto, yakin apapun yang terjadi pasti Pak Harto akan memihak mereka. Mereka salah terka. Pak Harto itu punya kelebihan jago mendengarkan pembicaraan orang tanpa ekspresi. Ia sangat bisa mengendalikan diri: “ tidak gumunan tidak kagetan. Sumuk kepanasan tidak lasah, senang tidak tertawa dan susah tidak menangis”. Oleh banyak orang yang melapor, sikap diamnya sering ditafsirkan setuju. Padahal belum tentu.
Tapi begitu G30S meletus. pak Harto dan Pak Yoga dengan cepat dan tepat bisa baca dan mengendalikan keadaan, karena komandan-komandan gerakan lapangan adalah bekas anak buahnya di Jawa Tengah, bahkan anak buah Pak Yogya dalam menumpas pemberontakan di Sumbar. Di sini keakraban anak buah dengan komandan terjadi karena duet komandan Yoga – Ali Murtopo selalu di garis depan memimpin penyerangan-penyerangan.
Pak Harto dan Yoga sangat diuntungkan sebab dengan cepat dan tepat membaca peta keadaan. Juga dengan cepat bisa menumpas Untung dan kawan-kawan lantaran tahu persis kekuatan dan kelemahannya, sebagai bekas anak buahnya.
Sementara ini yang bisa saya sampaikan. Salam.hangat.
Djokoedhie (mantan anggota DPR RI).
Memahami realitas Yoga Sugomo dan realitas Jenderal Nasution, saya kira kita gagal (sebelum ini terjadi dialog yang keras tentang situasi negara terakhir, dan sejumlah anggota grup bercanda menyatakan yang lain gagal memahami keadaan).
Hascaryo (Purn TNI)
Nah mas Djokoed yang gagal memahami saya , gue sudah mong omong dengan pak Yoga tentang peristiwa 65 di tahun 2001 paska HMS lengser 😀😀
😀MHT:
Pak Has apa ada perbedaan atau tambahan info dari pak Yoga soal G30S saat ktemu dibanding yg ditulis di buku ?

B.Wiwoho:
Pak Has dan bung MHT, pak Yoga punya sejumlah rahasia penting yang disimpan sebagai mekanisme pertahanan dirinya, yang kata beliau baru akan dibuka jika terpaksa perang Bubat, antara lain keterangan Latief. Apa yang sebenarnya?
Hascaryo:

Ada di referensi , tentang Kolonel Latief , yang bersangkutan anak buah HMS dalam peristiwa Madiun 48 , kemudian dipecat , tapi diaktifkan kembali oleh HMS . Waktu 65 yang bersangkutan mau minta perlindungan ke Pranoto Reksosamudro ( diangkat BK sebagai pengganti Jend A Yani ), namun suratnya ditangkap oleh HMS . Maka mereka berdua ditahan . Coba simak nrp Latief 10685 , HMS 10684.
Kol Latief dipecat karena Perisitwa Madiun. Yang bersangkutan anak buahnya HMS.
Anton Tabah (Pati Pur Polri, mantan Sekretaris Pribadi HMS) :
Nrp berurutan terus apa kaitannya? Nrp saya berurutan dengan Kolonel Inf Masykur (AD) saya sama sekali ga tau latarbelakang dia. Kalau dia kenapa-kenapa atau saya yang kenapa-kenapa apa lalu ikut terlibat?
Hascaryo:

Sangat dekat , bisa sebelahan tempat tidur atau antrinya berurutan , baiknya crosscheck dengan info lain
Pak Wie, pola mekanisme pertahanan diri dipunyai beberapa tokoh kunci.
Anton Tabah:
Contoh lain. Jangankan satu angkatan, satu kelas terus salah satunya jadi komandan yang lainnya. Yang dulu kakak angkatan komandan terus jadi anak buah juga ada.

Tinggalkan komentar